Langsung ke konten utama

Ngobrol bareng Ahmad Dhani di program "8-11" Metro TV

Mengadakan kegiatan diskusi 3 hari di Puncak, Jawa Barat.  
Suatu hari di tahun 2011, saya diundang jadi narasumber kasus kekerasan terhadap infotainment Global TV yang dilakukan boss Republik Cinta Management, Ahmad Dhani. Pentolan grup Dewa itu bersemuka dengan saya pada acara "8-11" milik Metro TV.

File tulisan ini saya copy paste dari "Catatan" di akun Facebook saya dengan polesan di prolognya.

Ahmad Dhani baru saja melewati proses Pilkada serentak tanggal 15 Februari 2017. Dia mencalonkan diri Wakil Bupati Bekasi bersama calon Bupati Saaduddin. Mereka kalah suara di daerah tempat saya tinggal sekarang.    

***

Kamis, 3 Maret 2011 pukul 09.30 WIB  saya sampai di Studio Metro TV di Kedoya, Jakarta. Saya diundang dalam kapasitas sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya Seksi Film dan Kebudayaan.

Hadir juga, pemusik Ahmad Dhani, dan Eko dari Aliansi Jurnalistik Indonesia. Kami diundang oleh produser program '8-11' Metro TV, untuk membahas perseteruan Ahmad Dhani dengan Global TV. Berikut ini intisari percakapan selama 30 menit tersebut:

Ahmad Dhani: 
Saya tidak suka saja dengan Global TV, karena selama 3 tahun ini memberitakan selalu yang buruk tentang saya. Padahal, saya kan juga berprestasi. Selama ini, saya juga punya teman-teman infotainment 'langganan' saya.

Global TV tidak minta izin ketika mengambil gambar saya. Etikanya, kan harus minta izin dulu. Dan ketika saya minta kasetnya, ternyata kaset kosong. Saya dongkol. Sehingga, kunci mobil Global TV saya cabut sampai datang polisi.

Dalam pertemuan saya dengan pihak Global TV di Dewan Pers Rabu kemarin, sudah diklarifikasi, tidak ada aksi kekerasan berupa pemukulan pada reporter dan kameramen Global TV. Intinya, saya tidak akan minta maaf.

Saya 
Soal etika dan moral, institusi pers dimanapun sudah mempunyai etika jurnalistik. Justru para artislah yang selama ini tidak punya etika dan harus membuat etika artistik.

Tidak ada kekerasan berupa pemukulan memang demikian adanya. Tetapi concern kami adalah kekerasan secara psikologis bagi wartawan, dan perampasan benda-benda milik wartawan, dimana hal tersebut sudah menyalahi UU.

Saya belum tahu apakah tim Global TV yang bermasalah di lapangan itu anggota PWI atau bukan? Kalau mereka anggota PWI tentu ada mekanisme untuk mereka mendapatkan advokasi dari Bidang Advokasi yang ada di PWI.

Soal peliputan infotainment, memangnya Dhani itu siapa? Apakah tidak ada artis lain? Dulu, Dhani bukan siapa-siapa dan sekarang terkenal. Harusnya Dhani melihat rangkaian prosesi suksesnya itu, dan selama ini didukung oleh wartawan. Jadi bentuk kekerasan itu sangat melecehkan profesi wartawan.
Syukurlah, keduanya sudah langsung ke Dewan Pers untuk menyelesaikan masalahnya. Bahwa ada laporan kasus itu ke polisi, ya itu juga harus dilanjutkan sampai tuntas.

Eko (Aliansi Jurnalistik Indonesia):
Dhani seharusnya terbuka, dan mengadukan persoalan ke Dewan Pers jika merasa dirugikan dalam pemberitaan oleh media. Bukan main rampas atau bahkan menyandera orang yang mau mengklarifikasi kelahiran anak Mulan Jamila.

Dhani juga punya hak untuk menolak tidak menjawab pertanyaan wartawan. Artis, setahu saya seperti juga diakui oleh Dewan Pers memang bukan pejabat publik yang wajib dilaporkan ke masyarakat tentang kebijakannya. Jadi, liputan infotainment itu sebatas hiburan semata tidak punya nilai kepentingan untuk masyarakat atau publik.  

Prinsipnya baik PWI maupun AJI sama-sama beritikad melakukan pembinaan terhadap pekerja pers. Soal etika jurnalistik, kami memiliki kesamaan prinsip. Yang berbeda hanya soal penempatan pekerja infotainment, yang menurut AJI bukan wartawan, sedangkan bagi PWI mereka disebut wartawan.
Saya setuju dengan Imam, bahwa masalah Dhani dan Global TV sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan di Dewan Pers.**

Setelah selesai diskusi itu, Tommy Tjokro sebagai host acara mengajak berfoto bersama untuk dokumentasi. Tapi saya tidak sempat minta foto-foto itu. Bahkan, ketika bertemu lagi dengan Tjokro yang ikut bermain film "Seeking Soulmate" (2016), saya mengobrol dengannya tapi lupa minta foto itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala