Sudut kedai Gayobaes di Pasar Santa |
Tahun 2017 baru berjalan dua bulan, dua kali pula saya ngopi di Pasar Santa, Jalan Cipaku, Jakarta Selatan. Jenis black coffee (kopi hitam) dari Gayo-Aceh, dengan endapan ampas di gelas jadi favorit sementara saya.
Kopi hitam lebih cocok di lidah saya karena lebih natural, selain sensasi asam yang menyesap di pangkal lidah.
Jujur saja, saya bukan penikmat kopi yang baik, karena belum banyak tempat saya kunjungi. Jakarta sebagai
surga pecinta kopi, banyak kedai dari kelas bawah, menengah hingga atas yang menawarkan aneka jenis
kopi termasuk cara menyajikannya.
Ngopi jadi semacam refreshing dan penyegaran tubuh, mengingat saat bangun tidur saya selalu minum dua gelas air putih, dan menjelang tidur segelas air putih.
Kopi Gayo yang diseruput panas-panas, hangat bahkan dingin tak mengubah
rasanya. Seminggu dua kali atau lebih saya ngopi.
Dari belasan kedai kopi di Jakarta yang agak familiar adalah di Starbucks, Jakarta Coffee House, dan Anomali Coffee. Baik ditraktir atau
sengaja mampir di saat-saat tertentu, menjadi sangat istimewa. Terutama ketika bertugas di luar kota.
Di Belitong saya mencicipi kopi di dua tempat, yang terkenal yaitu Kupi Kuli di Belitong, dan di Warung Bu Fat (tempat ngopi Andrea Hirata yang jadi tempat syuting film Laskar Pelangi).
Di Kupi Kuli, kopi disajikan pada cangkir kecil berbahan kaleng.
Kopi dimasak diatas tungku dengan bahanbakar kayu. Aroma kopi dan kepulan asap kayubakar menciptakan sensasi, memancing mood berkreasi. Kopi bisa ditambah susu kental manis. Tersedia pisang goreng buat teman ngopi.
Konsep kedai Kupi Kuli diadopsi dari
kebiasaan para kuli tambang timah di kota kelahiran birokrat Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), dan penulis novel Andrea Hirata. Mungkin, kreativitas Andrea Hirata juga dipengaruhi oleh sensasi Kupi Kuli ini. Saya belum bertanya padanya.
Sejumlah daerah lain saya kunjungi, juga punya kopi yang kharismatik. Di Pontianak ada kedai Kopi Aseng, misalnya. Juga di Lombok, Palembang, Biak,
Medan, Makassar, Semarang, Yogyakarta, Pangkalpinang, Bali, Maumere, Bogor,
Bandung, Solo, Malang, dan Surabaya.
Waktu tugas liputan film ke Hongkong, Cannes Perancis, dan Hollywood saya tidak terpikir untuk mencoba kopi di sana. Karena, kopi Indonesia terkenal berkarakter. Bahkan, kopi Gayo dipakai oleh Starbucks untuk bahan baku.
Memancing mood
Nah, di Pasar Santa ada kedai Kopi Gayobaes yang penjualnya berlogat bahasa Aceh. Di pasar yang mulai redup setelah ‘dihidupkan’ oleh Pemda
tahun 2014, itu saya kongkow bersama sejawat
seprofesi.
Pasar Santa sempat hidup dan para
pemilik kios umumnya anak muda yang berusaha membangun komunitas bisnis baru di sana. Namun, euforia itu kembali meredup. Dari 1.151 kios hanya tersisa 25%
yang sekarang masih buka.
Saya baru mengenal Pasar Santa di saat sudah sepi. Tapi,
referensi beberapa teman membuat saya penasan untuk mampir ke pasar yang dibangun tahun 1971. Sedikit cerita, pasar ini awalnya kumuh dan becek.
Pasar ini dibuat permanen pada 15 Mei 2007. Upaya pengelola pasar untuk
menarik penyewa dan masyarakat cukup gencar dengan mengajak komunitas batik,
hingga komunitas kopi dan piringan hitam. Ada yang menganggap, "Bukan anak Jakarta kalau belum pernah ke Pasar Santa!"
Kondisi mati suri Pasar Santa berlanjut saat saya mampir pada akhir Februari 2017. Suara adzan dari masjid di lantai atas
menunjukkan jam 20.00, saya bersama rekan Herman Wijaya dan Rosihan Kailianto mulai menutup laptop masing-masing.
Sebelumnya, kami memesan 3 gelas kopi sesuai selera masing-masing. Rosihan pesan kopi dengan tambahan susu kental. Herman memesan
black coffee seperti pesanan saya.
Sebenarnya saya mau bertahan sampai lalu lintas di luar pasar benar-benar ‘kosong’. Tapi, saya diingatkan oleh pesan Whatsapp dari seorang
aktivis perfilman yang kini pejabat di Dewan Kesenian Jakarta. “Jadi datang,
kesini gak?” tulisnya. Dia sudah menunggu di kedai Starbucks di Plaza
FX, Senayan.
Tak lebih dari 15 menit dari Pasar Santa ke Plaza FX, saya
dan Herman sudah duduk bersama sang aktivis di kedai kopi internasional itu.
Saya pesan Ice Greentea dan menghabiskannya di sela obrolan tentang rencana program Hari Film Nasional.
Waktu di android menunjukkan pukul 23.00 WIB. Petugas kebersihan sudah merapikan
kursi cafe. Ini isyarat bahwa kami harus menutup obrolan. ***
Komentar
Posting Komentar