Langsung ke konten utama

Sejenak di kota pelabuhan Monaco

Kota pelabuhan Monaco terlihat dari bibir tembok istana. Jalanan 
di kanan itu biasa dipakai balapan Grand Prix. (foto: tis)
Ini tulisan pengalaman sewaktu tugas jurnalistik tahun 2011. Bagi wartawan film, pergi ke Cannes, Perancis adalah ritual yang sama nilainya dengan 'berhaji' ke Mekah.

Saya tidak sekadar 'berhaji' di ajang Festival Film Cannes 2011 tapi juga berkesempatan 'umroh' ke negara tetangga Perancis, yaitu Monaco.
**
Mendengar nama Monaco, yang terlintas di benak saya adalah arena balap  Grandprix Formula 1, Istana Raja Monaco, dan arena judi Casino. Maka tawaran dari seorang staf Konsulat Jenderal RI di Marseille, Perancis  --- yang mengawal delegasi Indonesia di Festival Film Cannes 2011 -- untuk mampir ke Monaco, tidak bisa saya tolak. Kalaupun saya menolak tawaran itu, memangnya saya mau kemana di negeri ini?  Bisa-bisa malah kesasar. Berangkaaat!..

Saya bersama dua pejabat Kementerian Pariwisata dan Seni Budaya, serta Putri Indonesia Qori Sandioriva, Happy Salma dan produser film Ody Mulya Hidayat berada di kota berhawa sejuk itu beberapa hari.

Saat rombongan ke Monaco, Happy Salma dan suaminya Max Bagus Cokorda masih honey moon menonton misbar pada hari kedua kami di Cannes. Sementara Ody Mulya punya urusan lain.
Setiba di bandara Nice, Perancis. Saya, Happy Salma, 
Qori Sandioriva dan produser Ody Mulya Hidayat..
Saya dan rombongan berangkat pukul 15.00 waktu Cannes. Perjalanan ke Monaco sekitar 2,5 jam.

Ini menjadi perjalanan lintas negara yang mengharuskan semua pendatang menunjukkan identitas di setiap tempat yang dijaga petugas. Karena saya berada di mobil dinas Konjen RI, urusan administrasi lancar tanpa ada pemeriksaan paspor, misalnya. Tentu saja, saya tetap membawa paspor selama perjalanan.

Mobil van yang saya tumpangi meluncur melalui pintu tol yang menghubungkan negara Perancis dan Monaco. Dari sini, terlihat belasan tunnel berupa lorong-lorong. Lorong ini dibuat dengan cara mengebor gunung dan tebing hingga tembus membentuk lubang panjang. Perlu beberapa menit untuk melaluinya dengan kendaraan. Sumpah, ini sungguh eksotis.

Kawasan ini pula, yang menjadi lokasi tragedi terjunnya mobil istri Pangeran Rainier III, Grace Kelly. Putri Grace meninggal dunia tahun 1982. Diduga ia terkena stroke saat berkendara dan tak mampu lagi mengontrol kendaraan yang dikemudikannya saat mengantar sekolah anaknya, Stephanie yang piatu.

Sampai di tempat 'berhaji' orang film.
Tiba pukul 18.30
Di perjalanan sebelum sampai Monte Carlo, mobil kami berhenti di pabrik pembuatan parfum tradisional terkenal, Fragonard, yang sudah ada sejak 1926. Pabrik parfum eksklusif ini hanya berada di dua kota, Grasse dan Ezea. Hanya 30 menit kami di sini, sebelum melanjutkan perjalanan.

Tiba di Istana Monaco jam 18.30 saya teringat istana Anak-anak di Taman Mini Indonesia Indah dan banyak bangunan di Jakarta, yang mengadopsi gaya arsitek mediteranian.

**
Monte Carlo merupakan jantung kota di Monaco, yang menjadi daya tarik wisatawan dunia. Di sini terletak Casino paling tua yang dibangun tahun 1863.

Arsitekturnya bergaya Belle Epoque dengan interior mewah seperti lukisan, hiasan yang tertata apik. Tempat ini sering dipakai lokasi pembuatan film-film box office dunia.

Tidak sengaja, saya mendengar percakapan orang Indonesia yang baru turun dari sebuah mobil mewah. Mereka kemudian masuk ke Casino. Saya fikir, pasti dia orang tajir.

Sebagai negara yang dikenal berbiaya hidup tertinggi di kawasan French Riviera, Monaco menjadi tempat tinggal orang-orang dari kelompok jet set, maupun tempat tujuan para wisatawan kaya yang ingin memanjakan diri.

Daya pikat lain dari casino ini adalah menawarkan beragam jenis permainan ketangkasan judi seperti Roulette Eropa dan Inggris, 30 et 40, Chemin de fer, Blackjack hingga jackpot.

Casino de Monte Carlo juga diklaim sebagai satu-satunya casino di dunia yang mampu menggelar sekian banyak permainan judi dalam waktu bersamaan.

Dari sekian banyak permainan, French Roulette tetap jadi terfavorit. Siapa saja pengunjungnya? Meski sebentar mampir, saya melihat orang tua (benar-benar setua nenek saya) yang seperti keranjingan main game, juga anak-anak remaja. Lagi-lagi, saya teringat game di pusat perbelanjaan Jakarta.

Ditraktir makan pizza oleh Max Bagus Cokorda di Cannes.
Tak lebih dari Depok
Monaco memiliki luas 1,8 km2, berarti lebih kecil daripada kota Depok di Jawa Barat yakni 200,29 km2. Namun, ‘pemda’ Monaco canggih menata kota untuk Istana tempat tinggal Pangeran Rainier III, pelabuhan, hotel, arena balap, semua dikemas jadi satu tanpa ada ruang tersisa yang sia-sia untuk dijual kepada wisatawan.

Saya sedang tidak beruntung ketika tiba di Istana Monaco, karena upacara pergantian pengawal istana berlangsung setiap pukul 11.55, cukup menarik minat wisatawan maupun penduduk lokal. Bagi yang ingin melihat istana, wajib bayar 6 Euro.

Di bagian tepi laut, Monaco juga memiliki museum andalan, Oceanographic Museum, yang digagas Pangeran Albert I dari Monaco, mantan Angkatan Laut sekaligus peneliti kelautan.

Di sini digelar berbagai koleksi ilmiah beliau yang terdiri dari berbagai jenis ikan, spesimen hingga kerangka tulang ikan.
Seorang model body painting saya 'begal' di jalanan kota Cannes. 

Layaknya lokasi wisata, istana Monaco dikeliling para pedagang suvenir yang menetap di sana. Berbagai pernik seperti topi, t-shirt, gantungan kunci, kudapan, es krim, bahkan bendera tersedia di sini dengan harga rata-rata tak lebih dari 20 Euro.

Saat melihat bendera, saya sempat merasa berada di Indonesia. Lambang negara Monaco memang ‘Merah Putih’, sama dengan Indonesia. Mungkin saja sebetulnya Monaco dan Indonesia masih bersaudara, pikir saya iseng.

Geografis
Monaco berada di pinggir Laut Mediterania, antara kota Nice (Perancis ) dan perbatasan Italia. Sejarah Monako dimulai dari sebuah benteng yang di-bangun di atas perbukitan karang yang menjorok ke Laut Mediterania.

Pada Januari 1297 wilayah ini di-kuasai faksi-faksi di Italia yang menentang Paus, sampai akhirnya sekelompok kecil tentara yang dipimpin oleh Francois Grimaldi yang memasuki benteng dengan menya-mar biarawan, mengambil alih benteng itu.

Setelah kematiannya tahun 1309, Francois digantikan sepupunya, Rainer I, Lord of Cagnes, sekaligus mengawali kekuasaan keturunan keluarga Grimaldi yang berlangsung sampai hari ini.

Meskipun mungil, Monaco yang luasnya hanya 1.8 kilometer persegi, punya pelabuhan penting dan pos militer strategis di awal sejarahnya. Tahun 1861, kerajaan ini menyerahkan sebagian teritorinya kepada Perancis dengan imbalan kemerdekaan dan bantuan keuangan.

Penguasa Monaco saat itu, Charles III memfokuskan diri pada pembangunan ekonomi lewat pariwisata dan perjudian.

Berlatar belakang kota pelabuhan Monaco yang sejuk..
Rainer naik tahta lebih dari 50 tahun, menjadikannya sebagai salah satu pemimpin negara terlama pada abad ke-20. Ia melakukan diversifikasi dengan menjadikan Monaco sebagai pusat perusahaan perbankan dan pusat konvensi. Ia digantikan putranya, Pangeran Albert II tak lama sebelum ia meninggal dunia tahun 2005.

Sejarah modern Monaco mencakup pernikahan Pangeran Rainier III yang naik tahta tahun 1949 dengan bintang film AS, Grace Kelly. Putri Grace meninggal dunia tahun 1982 dalam suatu kecelakaan mobil di Monaco.

Kepangeranan Monaco (bahasa Perancis: Principauté de Monaco atau Monaco; Monegasque: Mu-negu atau Principatu de Munegu) adalah sebuah negara-kota dan negara terkecil kedua di dunia, setelah Vatikan, yang terletak di antara Laut Mediterania dan Perancis di sepanjang Pantai Biru (Côte d’Azur). **

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala