Langsung ke konten utama

Usmar Ismail Awards dan Matinya Toekang Kritik

Pada 2 April 2016 berlangsung ajang penghargaan Usmar Ismail Awards (UIA) yang pertamakali di Balai Kartini, Jakarta Selatan. Acara meriah disiarkan langsung oleh stasiun Trans7, dengan backdropp panggung sebuah logo besar produk makanan 'Bakmi Mewah'.

Keterlibatan wartawan sebagai juri acara ini sangatlah menentukan. UIA berbeda dengan awarding lain yang umumnya melibatkan masyarakat umum dan profesi perfilman sebagai juri.

Dilibatkannya wartawan dan kritikus film sebagai juri UIA diharapkan memberi efek 'keamanan'. Wartawan menjadi garda terdepan (bumper) demi membangun citra Yayasan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (YPPHUI) sebagai penyelenggara, yang sebelumnya tidak dikenal oleh publik.

Forum Pewarta Film (FPF) sebagai pelaksana di Bidang Penjurian dan Kehumasan UIA 2016 menjadi ujung tombak bagi UIA 2016. FPF terdiri dari kalangan wartawan dan kritikus film aktif, memperkuat bargaining UIA ketika mencari sponsor baik dari pihak swasta (Cinema XXI, PT Antam, Trans7, dan lain-lain), maupun dari pemerintah (Pusbangfilm Kemendikbud dan Perpustakaan Nasional).

Forum Pewarta Film menerima SK tugas sebagai pelaksana Ketua Bidang Penjurian dan Kehumasan UIA 2016 dari YPPHUI yang ditandatangani oleh H Irwan Usmar Ismail (Ketua YPPHUI) dan Adisurya Abdy (Sekretaris YPPHUI dan Ketua Penyelenggara UIA 2016).

Pihak yayasan tidak mengeluarkan SK besaran honor bagi tim FPF di yang bekerja di kesekretariatan selama tiga bulan lebih. FPF hanya dijanjikan akan mendapatkan hak tersebut. FPF percaya dan melanjutkan UIA 2016 dengan memegang prinsip gentlement agreement.

Sementara 19 anggota dewan juri yang 90% ditentukan oleh saya sebagai Ketua Dewan Juri dan Kehumasan,  menerima SK (ditandatangani Ketua Dewan Juri dan Kehumasan). Di dalam SK ini dicantumkan honor masing-masing juri Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah).

Dengan backup juri wartawan dan kritikus film itulah, penyelenggara UIA 2016 penuh percaya diri menyematkan jargon sebagai “festival film yang sesungguhnya”.

Tahun ini, ajang penghargaan dengan piala ‘Bapak perfilman Usmar Ismail’ itu akan dilaksanakan lagi.

Disebutkan dalam sebuah berita online, komposisi juri tidak jauh berbeda. Ada penambahan dan pengurangan. Beberapa juri UIA 2016 tidak ikut dalam UIA 2017 dengan berbagai alasan.

Sebelum berita itu muncul, rencana YPPHUI menggelar UIA 2017 diungkapkan oleh Sekretaris YPPHUI Sony Pudjisasono. Ketika mampir ke ruangan Forum Pewarta Film di lantai IV Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Sony Pudjisasono mengungkapkan bahwa YPPHUI belum menerima laporan kegiatan UIA 2016.

Sebagai pejabat baru sekretariat YPPHUI, Sony merasa perlu mendapat laporan pertanggungjawaban penggunaan keuangan yang dipakai untuk UIA 2016. “Sampai sekarang belum ada laporan saya terima,” kata Sony Pudjisasono di pekan awal Desember 2016.

Dia juga mengatakan, yayasan tidak mau ‘kecolongan’ lagi, setelah mengeluarkan dana Rp200 Juta untuk UIA 2016 yang tanpa laporan. Sebagai Ketua Penyelenggara, Sony menetapkan ‘harga UIA’ sebesar Rp5 Miliar, jika ada Event Organizer yang mau mengambil proyek UIA 2017.

Tidak transparannya pengelolaan keuangan penyelenggaraan UIA 2016 ini yang membuat Forum Pewarta Film menyikapi untuk tidak terlibat dalam UIA 2017. Terutama dengan masih menyangkutnya utang UIA 2016 kepada perusahaan percetakan buku UIA 2016, sebesar Rp30 juta.

Pihak percetakan berkali-kali mengeluhkan dan sampai hari ini sulit menagih sisa utang buku ke penyelenggara dan panitia UIA 2016.

“Semua melempar tanggungjawab. Panitia UIA dan yayasan sama-sama mengatakan tidak berwenang membayar sisa utang cetakan buku. Mereka tidak ada itikad untuk membayar,” kata petugas percetakan buku UIA 2016 yang dipecat dari pekerjaannya sebelum berhasil mendapat tagihannya.

UIA adalah awarding yang agung, independen, kuat dan bersih tanpa cela. Tidak akan ada kritik untuknya. Karena itu, sudah cukup keterlibatan Forum Pewarta Film membangun citra YPPHUI dan Usmar Ismail Awards 2016.

Sebagai sebuah entitas yang membawa nama besar pejuang perfilman, Usmar Ismail Awards berusaha menjadi institusi terbaik dari berbagai ajang penghargaan yang ada. Semoga bapak perfilman H Usmar Ismail tersenyum melihat semua ini.

Ah, jadi pingin baca lagi naskah monolog karya Agus Noor, "Matinya Toekang Kritik". **

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala