Langsung ke konten utama

FFI 2016 rampung tanpa gaung

PESTA orang film dalam kenduri Festival Film Indonesia (FFI) 2016 rampung tanpa gaung. Namun, ada jejak yang tercecer berupa foto dan komentar di media sosial yang dilontarkan sejumlah artis merangkap panitia, juri, dan undangan Malam Anugerah Piala Citra itu sendiri.

Tak hanya melampiaskan rasa bahagia dengan berfoto selfie dan wefie, orang-orang film juga curhat tapping delay dan pemotongan tayangan “Malam Puncak FFI” yang disiarkan RCTI, Minggu (6/11/2016) malam, saat acara berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Lebarannya orang film ini sejatinya proyek pemerintah yang diamanatkan Undang Undang Perfilman No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Tahun ini adalah tahun ketiga FFI ditangani oleh Badan Perfil-man Indonesia (BPI).

Pembentukan BPI difasilitasi dan disahkan oleh pemerintah pada penghujung tahun 2013. Sedikitnya ada 40 lembaga/ asosiasi bergabung di BPI sebagai stakeholder perfilman. Sayangnya, lebih dari se-paro asosiasi yang tergabung di BPI tidak berbadan hukum. Kecelakaan sejarah organisasi film ini sa-ngat lucu dan aneh. Kapan-kapan saya akan tulis juga.

Celoteh soal Malam Puncak FFI 2016 di media sosial bertanda pagar #FFI2016 tidak menyentuh apa yang diamanatkan oleh UU, bahwa FFI adalah milik masyarakat yang harus dirasakan/diketahui manfaatnya oleh masyarakat. Yang terjadi hari ini, FFI hanya milik elit di perfilman seperti yang juga dirasakan oleh sebagian besar anggota BPI.

Perkubuan di BPI, juga soal kinerja pengurus lembaga yang tidak sekalipun memberikan laporan kerja kepada anggotanya merupakan urusan internal BPI yang terikat aturan AD/ART. Namun, hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dan mengapresiasi FFI itu harus diselesaikan secara transparan.

Hak masyarakat terhadap pelaksanaan FFI adalah mutlak, karena kegiatan ini dibiayai pemerintah yang sumber dananya berasal dari APBN.

BPI yang sangat diharapkan menjadi mercusuar dan lumbung pemikiran perfilman seharusnya lebih maju mengurus FFI. Kemajuan itu bukan dalam penambahan jumlah juri dari 50an menjadi 150 orang saja.

FFI laksana benang kusut yang sejak 2004 tidak akuntabel dan transparan dalam anggaran dan bermasalah. Tidak ada laporan penggunaan anggaran yang besarannya pernah mencapai Rp16 Miliar pada tahun 2012-2013, kemudian merosot menjadi sekitar Rp7,8 Miliar tahun 2014-2016.

Besar pagu anggaran proyek FFI yang diajukan pemerintah ke DPR relatif fluktuatif. Saat FFI dimulai lagi pasca 12 tahun vakum di tahun 2004, Kementerian Pariwisata Seni dan Budaya (Kemenparsenibud), menitipkan Rp800 Juta ke pengurus Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) selaku panitia penyelenggara FFI.

Tahun 2005 anggaran FFI sekitar Rp1 Miliar di era Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Ke-menbudpar). Kemudian tahun 2006 sampai 2011 dana FFI bergeser Rp5 Miliar. Perubahan anggaran ini diharapkan dapat meningkatkan performa dan kualitas FFI.

Dengan gagah pemerintah menggelontorkan Rp16 Miliar untuk FFI 2012 dan 2013. Hasilnya? FFI semakin ramai oleh aksi rebutan proyek dua kelompok elit perfilman nasional.   

Meskipun sempat sekali menyelenggarakan FFI berbiaya Rp16 M di tahun 2013, Kementerian Pari-wisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) kemudian menurunkan anggaran FFI jadi Rp7-8 Miliar di tahun 2014. Kemudian sejak 2015 dan 2016, pagu anggaran FFI ini tidak berubah ketika perfilman berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

FFI yang dilaksanakan oleh BPI sejak 2014 ternyata tidak berubah secara signifikan dalam hal akuntabilitas dan transparansi. Sejatinya, masyarakat perlu tahu mengapa unsur-unsur film yang dinilai oleh juri FFI mendapat nilai Terbaik dan mendapat Piala Citra.

Laporan pertanggungjawaban Dewan Juri atas film peraih Piala Citra dimaksudkan agar FFI tak hanya menjadi barometer bagi sineas di tahun berikutnya, namun menjadi informasi bermanfaat bagi masyarakat. 

Pemotongan tayangan program "Malam Puncak FFI" di RCTI tidak perlu terjadi, jika panitia FFI 2016 rapih menjalin kerjasama dengan televisi, meskipun ada anggota panitia FFI yang bekerja di stasiun televisi milik taipan Harry Tanoesoedibyo itu.

Kericuhan pelaksanaan FFI 2016 ini menunjukkan kegagalan BPI sebagai penyelenggara, terutama upayanya untuk mengembalikan marwah ajang penghargaan yang pernah sangat bergengsi ini. Apa-pun itu, saya ucapkan selamat untuk para peraih Piala Citra FFI 2016. **

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala