Langsung ke konten utama

Ahok dan bioskop

AHOK menistakan agama Islam, kata berita. Saya tak tertarik membahasnya dan malah teringat saat bersemobil dengan Ajun, warga Tionghoa di Bangka-Belitung, beberapa bulan lalu. Dia lahir, besar dan bekerja di kota yang merindukan bioskop.

Maklum, setelah 20 tahun lebih sejak ada bioskop terakhir di Kota Pangkalpinang, Bangka, baru tahun 2016 ada pengusaha lokal kesambet setan Jakarta; membuka jasa tontonan yang modal investasinya diatas Rp5 Miliar itu.

Nama Ajun sebenarnya Junaidi. Remaja ini lincah menyetir mobil yang saya tumpangi. Ajun bercerita, mengapa nama orang-orang Cina, maksudnya orang Tionghoa di Indonesia termasuk dirinya menggunakan awalan A.

Sebenarnya Ajun cuma merespon pertanyaan saya yang iseng membuka obrolan di perjalanan dari Sungailiat menuju restoran terkenal di Pangkalpinang, Bangka malam itu.

Mendengar jawaban singkat dan lugas dari Ajun, saya puas. Setidaknya, dia memahami apa yang dibutuhkan oleh client-nya. Bertele-tele atau berusaha sok tahu, meskipun sebenarnya kalau dia lakukan itu, saya pasti siap mendengarkan. Tapi itu tidak dilakukannya.

Sebagai warga asli Bangka, persisnya Pangkalpinang, Ajun terlahir dari kedua orangtua yang juga Cina. Saya lebih suka menyebut kata Cina daripada Tionghoa, apalagi Tiongkok. Menyebut Cina, toh bukan pelanggaran hukum. 

Saya lebih merasa  friendly menyebutnya Cina. Karena tidak sedikit teman, dan tetangga saya yang juga keturunan Cina.

Sebutan Tionghoa sebenarnya eufimisme bahasa di koran dan media massa mainstream. Media mencomot kata Tionghoa sebatas tren. Dulu, negara yang sama disebut Tiongkok oleh media. Teman saya orang Cina Depok, suatu ketika mengolok-olok saudara seetnisnya sambil tertawa; “Dasar Cina! Hahaha.

Kembali soal penjelasan Ajun, saya tidak banyak bertanya lagi. Saya simpulkan sendiri bahwa sebutan ‘A’ di awal nama orang Cina itu sama seperti Aa di Jawa Barat atau  Mas dari Jawa. Tujuannya mulia, menghormati si pemilik nama.

Maka, kalau ada nama Aher, itu bisa berarti aslinya Herman. Awin aslinya Winardi, Ateng aslinya mungkin Tengsin, Alim aslinya Lim Siaw Bok atau Lim Sioe Liong, dan seterusnya.

Bahwa Basuki Tjahaya Purnama kemudian menjadi Ahok, menurut wikipedia adalah panggilan khusus dari ayahnya. Kalau nama aslinya kan, Zhang Wan Xie. Bisa saja Basuki dipaksa sehingga panggilannya jadi Abas. Saya juga berusaha memaksa diri ingin disapa Ateg, Aim atau Asur. Tetapi kagak ada yang cocok.

Ahok didemo massa karena menistakan agama Islam. Dia menyebut Surat Al Maidah Ayat 51 segala di dalam video yang disebarkan Buni Yani. Sehingga pada 4 November 2016 ketika digelar aksi damai yang beberapa hari sebelumnya sangat mencekam itu, Ustad Arifin Ilham di TV One mengatakan,  demo itu sebagai bentuk kecintaan mereka kepada Ahok. 

Bahwa ada yang memanfaatkan aksi damai itu, wajar saja. Sebab mesin politik harus bekerja jelang Pemilihan Gubernur DKI, dimana Ahok sebagai Gubernur Petahana bersaing dengan dua kandidat lainnya Anies dan Agus.

Demonstrasi adalah ekspresi berdemokrasi. Berunjukrasa di tempat umum adalah sebuah bentuk dari pamer, yang di dalam terminologi Islam disebut riya'. 

Oya, bioskop di Pangkalpinang itu ada di BES Square di Jl Sudirman. Namanya Bes Cinema terdiri dari 3 studio sekeleas Cinema XXI di Jakarta. Sejuk berpendingan udara. **

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala