Langsung ke konten utama

Opiniku di Koran Tempo

OPINI
SABTU, 06 DESEMBER 2014
FREE!

Simalakama Badan Perfilman Indonesia




Teguh Imam Suryadi,
penulis
Sejak dibekukannya Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) oleh pemerintah pada 2009, masyarakat film nyaris kehilangan harapan berpolitik. Namun, terbentuknya Badan Perfilman Indonesia (BPI) pada 17 Januari 2014 menumbuhkan harapan bahwa BPI akan menjadi episentrum bagi aktivitas tata kelola perfilman Indonesia pada hari ini dan masa depan.
BPI yang diketuai Alex Komang memiliki daya rangkul lebih besar dibanding BP2N yang pernah dipimpin Slamet Rahardjo, Djonny Sjafruddin, dan terakhir Deddy Mizwar. Karisma BPI terlihat dari performanya yang muncul atas desakan sineas kelompok Indonesia Movie Pictures Association (IMPAss), yang merupakan embrio dari kelompok Masyarakat Film Indonesia (MFI).
IMPAss terdiri atas sembilan organisasi pekerja film, yaitu Indonesian Film Directors Club (IFDC), Rumah Aktor Indonesia (RAI), Indonesian Motion Picture Audio Association (IMPAct), Penulis Indonesia untuk Layar Lebar (Pilar), Asosiasi Produser Sinema Indonesia (APSI) yang berganti menjadi Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi), Sinematografer Indonesia (SI), Indonesian Film Editors (INAFEd), Indonesian Production Designer (IPD), dan Asosiasi Casting Indonesia (ACI).
Tidak hanya IMPAss yang melebur ke BPI, organisasi lawas seperti Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Asosiasi Industri Rekaman Video Indonesia (Asirevi), Karyawan Film dan Televisi (KFT), Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), Sinematek Indonesia, Gabungan Studio Film Indonesia (Gasfi), Sekretariat Nasional Kine Klub Indonesia (Senakki), dan Perusahaan Film Keliling Indonesia (Perfiki) juga ikut serta. Hanya Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) yang tidak bergabung ke BPI.
Yang istimewa, BPI didukung Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang sekarang menjadi Kementerian Pariwisata serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Keberadaan perfilman di dua kementerian ini menjadi bagian kekisruhan UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.
Meski terdapat unsur sineas senior di dalam BPI, lembaga ini sepenuhnya ditangani anak-anak muda perfilman. Mereka pernah sangat vokal dan frontal dalam menentang kebijakan pemerintah di bidang perfilman dengan menamakan diri Masyarakat Film Indonesia (MFI) pada 2006. Ketika itu, MFI kecewa atas kemenangan film Ekskul sebagai Film Terbaik Festival Film Indonesia yang dilaksanakan oleh BP2N, dengan ketua Deddy Mizwar. Dari sini MFI memulangkan Piala Citra FFI ke Menteri Jero Wacik. Dan, karena pemerintah tidak merasa berhak menerima Piala Citra, kini piala-piala itu teronggok di Sinematek Indonesia.
Selanjutnya, MFI mengoreksi sistem Lembaga Sensor Film (LSF) dan menolak pengesahan UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman hingga proses uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Gugatan mereka dimentahkan. Lintasan peristiwa pada masa itu memperlihatkan tidak kondusifnya hubungan insan film tua dan muda.
Kembali ke BPI hari ini, alih-alih ingin menjalin kebersamaan, dalam badan itu justru "perang dingin" kedua kubu perfilman semakin terasa. Apa yang dilakukan BPI setahun terakhir menjadi pertanyaan menarik, karena kewajiban pengurus untuk meluruskan kabar burung berbau fitnah melalui laporan kerja.
Merujuk pada tugas pokok dan fungsi BPI, yakni melaksanakan festival di luar negeri, seharusnya BPI mempersiapkan dan melaksanakannya sampai mengurus siapa yang harus diberangkatkan. Sayangnya, mekanisme pendelegasian ke luar negeri ditangani oleh pemerintah.
Tidak tepatnya pendegelasian ini menjauhkan upaya pengembangan perfilman yang diharapkan melalui BPI. Pada tahun pertama, BPI memang menghadapi tantangan berat. Ditambah lagi jika ekonomi kreatif (Ekraf) yang semula bergabung di Kementerian Parekraf menjadi badan tersendiri, BPI siap-siap "bersebadan" dengan Badan Ekraf.
Performa lembaga yang identik dengan dunia glamor ini cukup payah. Jangankan melaksanakan program besar, membiayai petugas kesekretariatan pun BPI "saweran" mengumpulkan duit pribadi sembilan pengurusnya, yakni Alex Komang, Kemala Atmojo, Robby Ertanto, Edwin Nazir, Gatot Brajamusti, Embie C. Noer, Gerson R. Ayawaila, Rully Sofyan, dan Anggi Frisca.
Mendesak pemerintah mengeluarkan dana atau hibah bukanlah karakter BPI sebagai lembaga swasta mandiri. Padahal, menurut artis senior Christine Hakim, BPI bisa meminta dana minimal Rp 200 miliar kepada pemerintah. Sebab, pemasukan pajak pemerintah melalui industri film sangat besar. Mengamendemen UU Nomor 33 Tahun 2009, terutama klausul yang menyebut BPI sebagai badan swasta mandiri, adalah jalan paling masuk akal untuk memperbaiki keuangan BPI. *

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala