Langsung ke konten utama

Neta S Pane, Kapolri Swasta Pejuang Kemanusiaan


JJJ

J



Jangan tertipu pada penampilan. Nasihat lama itu diingatkan oleh Neta Saputra Pane, ketika pada suatu hari kami ngobrol seperti biasa diselingi ngopi di markas Kandang Ayam.

Saya pendengar baik celotehnya, juga celoteh abang lainnya yang berkisah semasa jadi jurnalis muda era 1980an. Cerita sangat mudah melompat ke isu politik terkini dan lainnya. Tak membosankan!

Maklum, saya junior di komunitas para "suhu" wartawan ini. Pas mereka lagi "galak-galaknya" di lapangan, saya baru belajar mengoreksi tulisan para wartawan di koran "Terbit" tahun 1991.

Dari cerita mereka, saya mendapat informasi "A1" soal media, organisasi pers, dan lainnya. Obrolan sore biasanya berlanjut di warung makan terdekat sampai malam. 

Saya mengenal Neta Pane (tapi Neta tak kenal saya, menyedihkan ya?) tahun 1993 ketika dia Asisten Redaksi Pelaksana di koran sore milik H Harmoko itu. Sekelebat saya melihatnya, tapi tidak sempat ngobrol. Lalu kami bertemu di Kandang Ayam tahun 2018. Di sinilah, saya mengenal sosok Ketua Indonesia Police Watch (IPW) yang berjiwa sosial, pemberani, tapi juga nyeleneh.

Hobinya menghisap cerutu dari berbagai negara sempat saya singgung dalam obrolan di kanal Frametis TV, YouTube. "Persisnya mulai 2018 ada kawan mengajak bisnis cerutu, jadi saya mulai belajar nyigar sampai sekarang," katanya sambil tersenyum lebar. 

Dari jualan cerutu, Neta tak menyangka mendapat cuan lumayan besar melalui jaringan konsumennya. "Hasilnya bisa buat ongkos pergi dan belanja lagi ke luar negeri. Malah masih sisa pula." Dia tertawa lagi. 

Neta berencana belanja lagi cerutu ke Kuba jika pandemi berakhir. "Gua akan ajak lu buat konten Youtube," katanya. Kali ini ber-lugua. 

Belakangan saya paham, gaya noraknya kala menghisap cerutu yang selalu diunggah di medsos adalah bagian trik pemasaran. Lanjutkan, bang! 

**

Sebagai Ketua IPW, Neta Pane dikenal sangat dekat dengan banyak tokoh berbagai institusi, bukan cuma di kepolisian yang selama ini menjadi pusat perhatiannya. 

Aksesnya sangat mudah untuk sekadar menyapa atau menegur orang penting di republik ini. Ya, Neta Pane punya kemampuan itu karena teguh pendirian menjaga independensi. "Gua harus menegur kalau mereka mulai ngaco," katanya, saat ngobrol soal pencopotan pejabat di kepolisian.

Rilis yang dibuatnya terbukti "sakti mandraguna' dalam proses menaik-turunkan atau menggeser pejabat Polri. Untuk itu, banyak yang menjuluki Neta  "Kapolri Swasta".

Pada kesempatan lainnya, dia menunjukkan nomer Habib Riziq Shihab di HPnya. Kapan pun, kata Neta dia bisa menelpon sang "Imam Besar" itu, baik sekadar "say hello" atau memetik komentarnya untuk bahan rilis IPW. 

Karena kesal dengan drama soal kehabiban dan iseng, Neta  mengganti nama akunnya di Instagram sebagai "Habib Neta". "Buat lucu-lucuan. Kan orang kita bisa jadi habib juga," katanya. Dia juga yang mencetuskan pertamakali istilah kelompok "Taliban" di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut Neta, sikapnya tersebut sering dianggap salah oleh kolega dan temannya saat mereka merasa dirugikan oleh rilis IPW di media massa. Akibatnya, Neta mendapat teror yang mengancam jiwanya. "Beking abang siapa, apa punya senjata pistol misalnya untuk jaga-jaga?," tanya saya. 

"Lah, gua gak punya pistol, juga gak punya duit. Beking gua, ya Allah SWT. Jadi enggak perlu takut," katanya menjawab pertanyaan ketika kami semobil tahun lalu. 

Salut saya dengan kemandirian sikap lelaki asal Medan, yang pernah hidup menggelandang di Planet Senen, Jakarta. Dibalik penampilannya yang "lembut" dan suka berbagi rejeki, Neta Pane adalah seorang pemberontak. 

Sisi kemanusiaan Neta Pane terlihat ketika dia mencoba menjaga penyebaran massal CoVID 19 di ajang Kompetisi Liga I yang akan digelar oleh PSSI. Dia melalui rilisnya meminta Polri tidak mengeluarkan izin penyelenggaraan Kompetisi Liga I. Hal itu dipenuhi oleh Polri.

Bersama tim penulis Kandang Ayam, Neta Pane telah mempersiapkan buku "Kapolri Dari Masa Ke Masa". Rencananya, buku ini akan diluncurkan pada HUT Polri Juli mendatang. 

Saya merasa kehilangan kawan baik Neta Pane yang pergi lebih dulu ke haribaan Allah SWT pada Rabu, 16 Juni 2021. Saya terkejut sekaligus bangga ternyata Neta dicintai oleh warga tempat tinggalnya di Bekasi. 

Sebagai Dewan Pembina Masjid Al Hidayah, Neta kerap menyantuni para remaja penghapal Al Quran (hafidz) dan penyedia makanan bagi jemaah "itiqaf" masjid di bulan Ramadan. 

Informasi itu saya dengar langsung dari H Eliadi Daulay Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al Hidayah, Perum Bumi Bekasi, Rawalumbu, Bekasi ketika akan mensolatkan jenazah almarhum Neta Pane di halaman masjid. Peti jenazah tetap berada di dalam ambulans.

"Almarhum H Neta Saputra Pane orang baik, selalu membantu kegiatan masjid, dan kemarin dia siapkan hafidz quran," kata H Eliadi Daulay di hadapan para jemaah.

Tiga minggu menjelang kepergian ke rumah abadi, Neta Pane sudah hilang kontak dengan warga paviliun, yang disebutnya "kantor" di Jalan Daksinapati, Rawamangun. 

Setiap Senin saat dia puasa (Neta rajin puasa Senin dan Kamis), biasa datang untuk "absen" dan mengajak siapa saja berbuka puasa di warung Solo atau Sop Kambing langganan dekat terminal Rawamangun.

Tiga kali hari Senin, Neta tidak muncul. Dia memang sangat mobile pekan-pekan itu, sibuk pulang-pergi ke Medan untuk acara keluarga, dan acara lainnya sehingga tak sempat "ngantor".

Selamat jalan bang Neta, surga menantimu.*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala