Langsung ke konten utama

12 Mei 1998 hari itu saya nonton kerusuhan - Reformasi

HARI INI 20 TAHUN LALU #REFORMASI

-- Artikel ini adalah copy paste tulisan saya di Facebook tanggal 12 Mei 2018 saat usia Reformasi berjalan 20 tahun.

***

Matahari tidak terlalu galak ketika saya pulang nonton premiere film impor di Blok M Plaza, Selasa (12/5/1998) siang itu sekitar pukul 11.30, saya mendengar kabar adanya kerusuhan di daerah Grogol. Beberapa teman wartawan yang juga nonton (diundang oleh mbak Rayni N. Massardi) membicarakan situasi di Grogol. Saya pun meninggalkan obrolan, bergegas ke tempat parkir gedung, merogoh kantong, nyomot kunci motor.

Vespa biru metalik tunggangan saya adalah produksi tahun 1991 dengan kapasitas mesin 150 Cc. Dia lancar distater, lincah menyalip celah kemacetan sepanjang jalan ke arah Grogol. Sebagian ruas jalan sudah tak bisa ditembus, saya berbelok melipir ke 'dalam' hingga tembus di depan Mal Ciputra. Mal sudah ditutup untuk kendaraan parkir.

Kerumunan massa dengan wajah murka berteriak-teriak di kanan-kiri jalan. Saya mencopot helm penutup kepala, untuk menunjukkan kepada massa beringas yang tersulut isu Suku Agama dan Ras (SARA).

Vespa meliuk-liuk di bawah jalan layang, tak ada tempat parkir tapi juga tak mungkin saya terus duduk diatas motor. Sesekali saya standarkan si biru untuk merasakan aura kegilaan massa. Tepatnya, saya ingin melihat dari dekat chaos, yang menyebabkan beberapa kendaraan motor dan mobil hangus dibakar massa. Sok tau banget. Tapi insting sok tau ini ternyata penting untuk pekerjaan wartawan. Eh, iya apa gak?
Ah, betapa sangat ruginya saya saat itu, berada di spot terbaik tapi tidak membawa kamera, yang sebenarnya sering saya jinjing kemana-mana. Hari itu, saya "off" motret, jadi belum sempat ke kantor redaksi "Harian Terbit" di Pulo Gadung untuk minta jatah satu roll film seluloid merk KODAK dari sekretaris redaksi, mbak Tuti.

Sampai detik itu, tidak terfikir sedikitpun jika kerusuhan akan membahayakan diri. Mungkin karena merasa ada "jaminan" bahwa saya adalah pribumi. Situasi begitu mencekam.  Beberapa rumah, toko dan  warung-warung pun aman tak tersentuh tangan massa yang kalap, hanya dengan coretan besar di depan toko: "Milik Pribumi". Entah hembusan isu dari mana yang membakar jiwa massa hari itu, tetapi sangat masif.

Saya ingat jelas dan merekam suasana hanya di dalam hati dan kepala. "Sialan, gue gak bawa kamera!" kata saya, kali ini kepada Anto, sepupu yang membonceng sejak dari Blok M tadi.

Masih di bawah jembatan layang perempatan Grogol, sebuah truk sampah dikepung massa. Seorang diantaranya bertindak ala adegan film serial Mc Gyver. Dia memodifikasi truk agar berjalan sendiri tanpa dikemudikan seseorang pun dan tanpa remote controle.

Sebuah batu besar sengaja dia tempatkan menindih pedal gas truk, yang akhirnya berjalan sendiri. Di depan sana,  sebuah sedan nahas terbakar. Skenario yang terbaca, truk akan menabrak sedan yang terbakar. Saya menunggu dengan sabar adegan yang akan bagus jika difilmkan itu. Dan, sesuai skenario liar tadi, truk pun menghantam sedan. Kedua mobil terbakar sempurna.

Pandangan saya beralih menyapu ke sebuah POM Bensin yang juga dikerumuni massa. Ada yang berteriak "bakar..bakar.!! Belum sempat saya melihat POM bensin di seberang Mal Ciputra itu dibakar atau tidak, tapi saya sadar membawa anak orang.  Anto harus saya antar pulang ke Cempaka Putih. Jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul 14.30 WIB.
Ya, tapi pulang lewat mana? Seluruh arus jalan ke berbagai arah sudah tertutup. Dari depan luar pagar Universitas Trisakti saya menengadah, melihat sebuah pesawat helikopter melayang dan menumpahkan tumpangannya; belasan tentara bersenjata turun bergelantungan mendarat di jalan layang.

"Ini sudah gak asik berada di sini. Harus keluar dari sini. Berbahaya," bisik saya kepada my Vespa :)

Vespa biru itu membawa kami sejajar dengan posisi helikopter di seberang jalan layang (persis di depan Mall Ciputra), kami beringsut ke Cempaka Putih.

Malam hari keadaan di Cempaka Putih mencekam. Muncul isu terjadi pengerahan massa sipil bersenjata. Saya dan para tetangga memantau siaran radio yang selalu meng-update lokasi kerumunan massa sipil. Kami resah tak bisa tidur. Ternyata massa tak melewati kampung kami.

Esoknya, kerusuhan merata di seluruh ibukota Jakarta. Sejauh mata memandang, hanya tetlihat kepulan asap hitam. Situasi ini tampak jelas dari jembatan layang Kemayoran dekat Arena Pekan Raya Jakarta.

Kerusuhan dua hari 12-13 Mei ini pun reda. Tanggal 21 Mei 1998, di televisi Presiden Soeharto menyatakan  "lengser keprabon" setelah 32 tahun berkuasa. Ribuan mahasiswa penggerak Reformasi merayakan kemenangan di Gedung DPR/ MPR.**

Saat itu, kalian lagi dimana dan sedang apa?

#MenolakLupa #Reformasi1998 #20tahunreformasi

Foto: ilustrasi dari media sosial

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala