Langsung ke konten utama
JALAN SUNYI MENUJU BUKIT GANCIK DESA SELO, BOYOLALI

Hening dan sunyi dapat membakar gairah fantasi sebagian orang. Dan, saya termasuk sebagian orang itu, ketika bersenyawa dengan alam sebuah desa berbukit  yang terjebak diantara dua gunung; Merapi dan Merbabu di Jawa Tengah pekan lalu.

Desa berhawa sejuk-segar itu bernama Selo Nduwur yang secara administratif merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Desa Selo diakrabi oleh para pendaki gunung karena merupakan jalur paling umum yang direkomendasikan oleh para pecinta alam.

Pagi dan terutama malam hari di kawasan bersuhu 8 sampai 10 derajat Celcius ini lebih terasa panjang. Saya rela melek malam dengan beberapa peserta 'familiarization trip' dari Forum Wartawan Pariwisata. 'Njagong' hingga dinihari di depan homestay. Ada kopi panas yang cepat mendingin, umbi singkong dan pisang rebus di atas meja. 

Andaikan tidak ada rencana mengintip prosesi matahari terbit esok pagi, tentu saya habiskan malam sambil duduk-duduk memandangi anggunnya Gunung Merapi berkalung kabut. Ini seperti cerita dongeng negeri diatas awan. Sungguh damai dan syahdu, juga nyata.

Desa Selo menawarkan kesederhanaan. Waktu seolah berjalan di tempat. Suara-suara kotor berisik dan bau politik busuk hanya terdengar jika saya terpaksa mengakses kanal YouTube, melihat streaming televisi. Tapi sebaiknya saya menghormati Desa Selo yang damai dengan mematikan data seluler android.

Waktu Subuh nyaris terlewat jika tidak ada 'morning call' persiapan ke Bukit Gancik, yaitu lokasi 'hotspot' pemotretan 'sunrise'. Panggilan rekan diluar jendela membangunkan tidur saya di ruangan 2,5 m x 3 m, termasuk kamar mandi bermesin pemanas air itu.

Bukit Gancik berjarak sekitar 15 menit dari homestay jika ditempuh menumpang Jeep, dan dilanjutkan dengan motor gunung. Tapi, perjalanan hari itu kami tempuh sampai di titik pengantaran jeep saja. Sisanya berjalan kaki karena kebetulan tidak tersedia motor untuk menuju puncak.

Tempat ini merupakan pos satu jalur pendakian menuju Gunung Merbabu bila pendakian ditempuh melalui jalur Selo, Boyolali. Panorama dari Bukit Gancik pagi itu membayar tunai rasa capek, pegal kaki dan boyok saat perjalanan mendaki tadi. Udara berkabut dan tipisnya oksigen mejadi tantangan pendakian ini. Dari belasan peserta, hanya empat termasuk saya yang beruntung sampai di "Gancik Hill Top". Ya, bersyukur masih kuat nanjak.

Indahnya matahari terbit di balik Gunung Lawu dan matahari tenggelam di balik Gunung Merapi bisa disaksikan dari titik hotspot yang sangat instagramable ini. Bukit Gancik menawarkan udara segar dan hamparan hijau perkebunan sayur milik warga.

Suasana di sini mendukung kita untuk minim bicara, dan sebaiknya memang begitu untuk menghayati dan meresapi bulir-bulir embun menempel di kulit. Di sinilah, kesunyian itu bermakna dan tentu sangat mewah bagi orang-orang yang terbiasa hidup di keramaian kota berudara polutif.

Tetapi, kesunyian tanpa kata-kata juga berpotensi merusak atau membunuh bagi orang lain. Setidaknya, penyair Chairil Anwar menegaskan hal itu. Menurutnya, 'rasa sepi' yang terlalu dalam merupakan kutukan yang amat mematikan. "Mampus kau dikoyak-koyak sepi," tulisnya di bait puisi berjudul "Sia-sia".**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala