Langsung ke konten utama

Sibad, Dangdut dan Dolar

Seorang teman berbisik, tepatnya dia berbicara pelan pada saya saat menyaksikan Wishnutama bersalaman dengan Arief Yahya di Gedung Sapta Pesona, Jakarta pekan lalu.
"Kok, pasar bereaksi negatif di saat presiden mengumumkan Kabinet Indonesia Maju?" katanya. Matanya bolak-balik menatap saya dan gawai di tangannya. Rupanya dia berusaha menjelaskan 'reaksi negatif' pasar saham yang dimaksud, dengan menunjukkan data dari laman Bursa Efek Jakarta.
Saya menanggapi seadanya dengan bersuara sama pelannya dengan dia. "Mungkin reaksi sesaat saja," kata saya sok menganalisa bursa saham hari itu.
Tapi Selasa (29/10/2019) sore ini ketika kantor bursa saham mulai ditutup, saya menyusuri posisi kurs dolar terhadap rupiah, yang ternyata 1 US Dollar setara dengan Rp14.040.
Nominal itu mari kita jumlahkan dengan hitungan-hutungan sebagai berikut; 548.000.000 x 14.040 = 7.693.920.000.000. Kemudian dibagi 1000, yang hasilnya adalah 7.693.920.000.
Angka tersebut adalah jumlah uang terkumpul dari video lagu Lagi Syantik yang dinyanyikan penyanyi dangdut Siti Badriah sejak diposting di Youtube tahun 2018.
Seperti kita tahu, Youtube akan mengganjar 1 Dolar untuk setiap 1000 viewer sebuah postingan di kanal video itu. Sementara, video Lagi Syantik  per hari ini ditonton 548 juta kali!
Siti Badriah lahir di Bekasi, 27 tahun silam. Berawal dari profesinya sebagai penyanyi keliling, kini menjadi salahsatu diva musik dangdut. Dia bahkan disejajarkan dengan seniornya, Iis Dahlia dan Rita Sugiarto.
Sampai di sini, apakah masih ada yang meragukan potensi Bekasi sebagai penyumbang devisa dari bidang ekonomi kreatif? Pasti adalah. Tentu mereka yang belum pernah ke Bekasi. Hahaha..
Seperti saya sebutkan tadi, jumlah rupiah yang terkumpul dari video Lagi Syantik adalah Rp 7.693.920.000. Dibacanya: Tujuh miliar, enamratus sembilanpuluh tigajuta, sembilanratus duapuluh ribu rupiah. Huh, capek!.
itu memang bukan hak Sibad seorang. Ada hak perusahaan rekaman Nagaswara, tempat Sibad melabuhkan suaranya untuk dikomersialkan secara total. Soal bagaimana mekanisme pembagiannya, saya tidak sempat bertanya pada Sibad atau pun Rahayu Kartawiguna sebagai produsernya.
Saya tidak bertanya. Tapi, bisa merasakan dan menilai secara kasatmata seberapa sejahteranya Sibad. Saya rasakan itu ketika bersama rekan Herman Wijaya diizinkann masuk ke mobil Alphard putih miliknya.
Kami mengobrol bertiga di sana, disaksian sang sopir. Setelah itu saya dan Herman turun di tempat kami naik. Demikianlah, semoga bohir tahu..

29 Oktober 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Film Night Bus: Malam jahanam sepanjang jalan

Perjalanan menuju kota Sampar malam itu berubah mencekam. Bus yang dikemudikan Amang dipaksa berhenti di setiap pos pemeriksaan di jalur konflik bersenjata. Beberapa penumpang tewas termasuk sang sopir, saat bus dikepung separatis Samerka (Sampar Merdeka). Bagudung, sang kernet berhasil membawa lari bus dari kepungan saparatis yang keji diketuai Jenderal Basir. Tak satupun penumpang mengira akan menghadapi kekacauan tersebut. Bus malam berisi setengah dari kapasitas kursi. Ada Yuda seorang wartawan (diperankan Edward Akbar), Umar orang kaya di kampung (Torro Margens), pengamen tunanetra (PM Toh), anggota LSM, seorang penyusup misterius, nenek Nur dan Leyla cucunya, gadis Annisa dan pemuda pacarnya, serta seorang perempuan yang kemudian diketahui sebagai korban konflik; ayahnya dibunuh dan dia sendiri diperkosa secara massal.     Film Night Bus dikupas bergaya thrailler yang menegangkan oleh sutradara Emil Heradi. Suguhan cerita, terutama faktor sulitnya syuting di ruanga

Mendadak ditelepon sutradara film

Sore menjelang maghrib, Selasa (21/3/2017) sebuah pesan Whatsapp bertengger di  handphone  android saya. Terbaca tiga baris pesan: Pak? / Ini Hanung/ Aku bisa telf?/ Saya ragu, apa benar si pengirim pesan sutradara film terkenal itu, atau orang iseng yang mau praktik cyber crime ? Tapi terlihat dari profile foto WA-nya memang dia!. Kemarin, saya menemuinya di Djakarta Theatre di peluncuran trailer dan soundtrack “Kartini”, film yang disutradarainya. Secara khusus, saya berniat mau bertanya soal IBOS. Sejak wawancara pertama tahun 2004 untuk program apresiasi Festival Film Indonesia di TVRI, dan satu frame di acara talkshow Festival Film Jakarta 2006 di JAK-tv, saya tidak intens berkomunikasi meski sesekali bertemu. Nomer kontaknya pun saya tidak punya.  Ada beberapa wartawan di sana. Tapi saya duduk-duduk di tempat agak berjarak dengan kerumunan. Menunggu sampai wartawan selesai bertanya dan saya akan hampiri Hanung. Hampir sejam dia dikepung wartawan, belum

Romantisme Tomohon, lokasi syuting "Hujan Bulan Juni"

Bunga Teratai di perigi kota Tomohon. (tis)  "Hujan Bulan Juni" tidak lebih dramatis dari Gerimis di Bulan November... Teman sekamar di Hotel Grand Puri, wartawan Herman Wijaya sibuk dengan gadget- nya selepas subuh, Sabtu (11/11/2017). Waktu terus bergerak ketika saya lirik jam di ponsel android menunjuk 06.30. Ini waktunya menyelinap keluar dari hotel, mampir ke tempat wisata alam dan sarapan terdekat. Hotel kami dekat lapangan olahraga kebanggaan masyarakat Manado, Stadion Klabat. Dari jendela kamar hotel terlihat lapangan itu sepi tanpa kegiatan. Nun jauh di belakang stadion, laut dan perbukitan menyapa ramah. Langit pagi cerah. Kemarin sore, kami iseng ke atap hotel melihat semuanya: Gunung Lokon, dan Gunung Klabat. Pagi ini  jatah sarapan dipastikan hilang demi bersegera hangout , capcuss .. Mengapa harus keluar hotel? Rugi, jauh-jauh dari Jakarta ke Manado kalau cuma nonton Festival Film Indonesia. Lagi pula agenda acara dari panitia FFI lokal adala